Pemanfaatan Gas Untuk PLTG

Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an dimana produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja di Palembang. Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 1974, dimana PERTAMINA mulai memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien, pada tahun 1993 Pusri IA ditutup,dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun oleh putera-puteri bangsa Indonesia sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan pabrik pupuk paling modern di kawasan Asia, karena menggunakan teknologi karena menggunakan teknologi tinggi. Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan, 1974, PERTAMINA juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (off shore) laut Jawa dan kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk dan industri menengah dan berat di kawasan Jawa Barat dan Cilegon Banten. Pipa gas alam yang membentang dari kawasan Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga di ekspor dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) Salah satu daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia adalah Nanggröe Aceh Darussalam. Sumber gas alam yang terdapat di daerah Kota Lhokseumawe dikelola oleh PT Arun NGL Company. Gas alam telah diproduksikan sejak tahun 1979 dan diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Selain itu di Krueng Geukuh, Nanggröe Aceh Barôh (kabupaten Aceh Utara) juga terdapat PT Pupuk Iskandar Muda pabrik pupuk urea, dengan bahan baku dari gas alam.
Prinsip pokok dari semua pembangkit listrik bertenaga gas dan uap adalah Brayton Bycle. Apabila kita hanya bicara tentang PLTG maka kita harus berpikir tentang open cycle tetapi apabila ingin mengetahui siklus kerja PLTGU maka kita harus mengetahui tentang combined cycle.


Gambar 4.1 Aliran generator

Pada open cycle dimulai dari pemompaan bahan bakar dan pemasukan udara dari intake air filter menuju combuster. Di combuster campuran bahan bakar dan udara disemprotkan oleh nozzle sehingga di ruang bakar terjadi pembakaran. Pembakaran tadi akan memutar turbin gas yang selanjutnya akan memutar generator yang akan menghasilkan energi listrik. Gas buang dari turbin gas akan langsung dibuang melalui bypass stack.
 
Gambar 4.2 Sekala  Proses Pembuatan listrik Tenaga Gas

Sedangkan untuk PLTGU menggunakan combined cycle dimana gas buang dari turbin gas akan dimanfaatkan kembali untuk mengoperasikan turbin uap. Dibutuhkan HRSG (Heat Recovery Steam Generator) yang prinsip kerjanya sama dengan boiler. Gas buang dari turbin gas tidak langsung dibuang melalui bypass stack akan tetapi masuk ke HRSG. Setelah masuk ke HRSG maka gas tadi akan berubah menjadi uap bertekanan tinggi yang kemudian digunakan untuk memutar High Pressure Steam Turbine (HPST), kemudian HPST memutar Low Pressure Steam Turbine (LPST) yng akhirnya akan membangkitkan generator. Hasil pembuangan LPST akan dikondensasi dan dialirkan ke pompa. Dari pompa kemudian dilairkan kembali ke HRSG. Begitu seterusnya sehingga terbentuk siklus tertutup. Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an dimana produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja di Palembang. Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 1974, dimana PERTAMINA mulai memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien, pada tahun 1993 Pusri IA ditutup,dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun oleh putera-puteri bangsa Indonesia sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan pabrik pupuk paling modern di kawasan Asia, karena menggunakan teknologi karena menggunakan teknologi tinggi. Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan, 1974, PERTAMINA juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (off shore) laut Jawa dan kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk dan industri menengah dan berat di kawasan Jawa Barat dan Cilegon Banten. Pipa gas alam yang membentang dari kawasan Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga di ekspor dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) Salah satu daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia adalah Nanggröe Aceh Darussalam. Sumber gas alam yang terdapat di daerah Kota LhokseumawePT Arun NGL Company. Gas alam telah diproduksikan sejak tahun 1979 dan diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Selain itu di Krueng Geukuh, Nanggröe Aceh Barôh (kabupaten Aceh Utara) juga terdapat PT Pupuk Iskandar Muda pabrik pupuk urea, dengan bahan baku dari gas alam. dikelola oleh
Teknologi transmisi dan distribusi jaringan listrik hampir tidak mengalami perubahan selama 100 tahun. Sementara teknologi lain seperti media digital pribadi dan energi yang terdistribusi sudah sangat berkembang, dan perkembangan tersebut gagal diikuti oleh teknologi jaringan listrik. Pada sisi transmisi, yang menjadi permasalahan adalah cukupkah transmisi yang ada untuk mengalirkan listrik yang bersumber dari energi terbarukan ke dalam jaringan transmisi dan distribusi. Karena banyak sumber energi terbarukan yang terletak di lokasi yang sangat jauh dari pusat beban. Untuk saat ini, ada beberapa teknologi jaringan listrik yang bisa dipertimbangkan para pengembang jaringan, yaitu HVDC dan kabel berteknologi nano. High VOltage Direct Current (HVDC), meski bukan merupakan konsep baru, tetapi di Amerika Serikat menjadi perhatian seiring dengan banyaknya energi listrik yang bersumber dari energi terbarukan yang harus dikirimkan kepada beban.  Teknologi lain yang sedang dikembangkan adalah kabel atau kawat yang digunakan untuk jaringan transmisi dan distribusi menggunakan teknologi nano. Dr. Wade Adams dari Richard E. Smalley Institute mengatakan, dalam teori, kabel berteknologi nano bisa mengalirkan arus hingga 100 juta ampere sepanjang ribuan kilometer tanpa banyak kehilangan efisiensinya, dan mempunyai berat hanya seperenam dari kabel jaringan listrik yang banyak digunakan saat ini serta sangat kuat, sehingga mereka tidak memerlukan struktur penyangga. Hanya saja teknologi ini masih 10 hingga 15 tahun dari komersialisasi. Kabel yang digunakan saat ini hanya bisa mengalirkan arus sebesar 2000 ampere sejauh ratusan kilometer, dengan 6% - 8% loses.
Sektor distribusi menghadapi masalah yang lain lagi, meteran dan laju beban yang bisa timbul dengan adanya pembangkit-pembangkit listrik energi terbarukan skala kecil. Artinya, dibutuhkan sistem jaringan listrik yang ''cerdas''. Untuk mengatur dan mengendalikan listrik masuk ke dalamnya, peralatan pengatur interaktif, pengawasan jaringan, fasilitas penyimpanan energi dan sistem yang bisa memberikan respon adanya permintaan perlu diterapkan.  Mengupgrade infrastruktur transmisi dan distribusi tidak murah dan tidak bisa dapat dilakukan dalam waktu dekat. Menurut Electric Power Research Institute, think tank energi California, biaya yang diperlukan untuk upgrading jaringan dengan teknologi ''cerdas'' sebesar US$ 100 milyar. Penyedia listrik dan jaringan akan membayar mahal untuk upgrading tersebut, sama halnya dengan para pelanggannya yang akan membayar lebih mahal. Tetapi, walau bagaimanapun, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk upgrade sebanding dengan dampak ekonomi yang akan terjadi jika terjadi kegagalan jaringan listrik. Sebagai contoh, di tahun 2003 sebagian wilayah utara Amerika Serikat mengalami black out dan kerugian yang dialami sekitar US$ 6 milyar hanya untuk beberapa hari.
      Tenaga listrik dibangkitkan dipusat – pusat listrik ( power station) seperti PLTG kemudian disalurkan melalui saluran transmisi setelah terlebih dahulu dinaikkan tegannya oleh transformator penaik tegangan yang berada di pusat listrik. Saluran tegangan tinggi di Indonesia mempunyai tegangan 150 kV yang disebut sebagai Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan tegangan 500 kV yang disebut sebagai Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Saluran transmisi ada yang berupa saluran udara dan ada pula yang berupa kabel tanah. Karena saluran udara harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan kabel tanah, maka saluran transamisi kebanyakkan berupa saluran udara.Saluran transmisi tegangan tinggi kebanyakan mempunyai tegangan 30 kV, 66 kV, 150 kV dan 500 kV. Khusus untuk tegangan 500 kV dalam prakteknya sering disebut tegangan ekstra tinggi. Setelah melalui saluran transmisi maka tenaga listrik sampai ke gardu induk ( sub station ) untuk diturunkan menjadi tegangan menengah atau tegangan distribusi primer yang bertegangan 6 kV, 12 kV atau 20 kV. Yang terakhir di sebutkan adalah yang cenderung di gunakan di indonesia. Jaringan setelah keluar dari gardu induk biasa di sebut jaringan distribusi, sedangkan jaringan antara pusat listrik dan gardu induk biasa disebut jaringan transmisi, baik saluran transmisi atau pun saluran distribusi ada yang berupa saluran udara dan ada yang berupa kabel tanah. Kerugian saluran transmisi menggunakan kabel udara adalah adanya gangguan petir., kena pohon dan lain-lain. Setelah tenaga listrik disalurkan melalui saluran transmisi, maka sampailah tenaga listrik di Gardu Induk (GI) untuk diturunkan tegangannya melalui transformator penurun tegangan menjadi tegangan menengah atau yang juga disebut tegangan distribusi primer. Tegangan distribusi primer yang digunakan pada saat ini adalah tegangan 20 kV. Jaringan setelah keluar dari GI disebut jaringan distribusi, sedangkan jaringan antara Pusat Listrik dengan GI disebut jaringan transmisi.  Setelah melalui jaringan distribusi primer maka kemudian tenaga listrik diturunkan tegangannya dalam gardu – gardu distribusi menjadi tegangan rendah atau jaringan distribusi sekuder dengan tegangan 380 V atau 220 V. Melalui jaringan tegangan rendah untuk selanjutnya disalurkan ke rumah – rumah pelanggan (konsumen) melalui sambungan rumah hingga ke alat pengukur dan pembatas di rumah – rumah pelanggan atau biasa di sebut kWh Meter. Dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa besar kecilnya konsumsi tenaga listrik ditentukan sepenuhnya oleh para pelanggan, yaitu tergantung bagaimana para pelanggan akan menggunakan alat-alat listriknya, yang harus diikuti besarnya suplai tenaga listrik dari Pusat-pusat Listrik. Proses penyampaian tenag a listrik dari Pusat-pusat Listrik
0 Responses

    Blog Archive